“Dunia pendidikan kita kian amburadul ” demikian kata seorang temanku, saat kami sedang berkumpul dan melakukan diskusi tanpa arti di suatu sore sambil memandang laut lepas di sebuah cafe di tepi pantai Losari. Mereka sedang membicarakan pendidikan anak-anak mereka. “Dan mutu-mutu guru pun kian buruk” Aku memandang kepadanya sambil menggeleng. Dia seorang ayah dan seorang teman yang aku tahu sangat cerdas. Dulu kami pernah kuliah bersama, dan aku selalu menyenangi caranya menjelaskan masalah-masalah yang aku tidak pahami. Sore hari itu, kami berkumpul bersama, mengadakan sebuah reuni kecil, karena kehadiran seorang teman kuliah juga, yang baru tiba dari Sorong, Papua.
Dia pun bercerita tentang soal-soal pendidikan anak-anaknya sambil asyik mengunyah “pisang epe” yang kami nikmati bersama dibawah udara sore yangcerah. Aku memandang kepadanya yang terus bertutur tentang kekecewaannya tentang dunia pendidikan negeri ini. Setelah dia selesai mengeluh, aku lalu bertanya, “jika kau mengeluh tentang dunia pendidikan kita, tentang sikap moral para guru, lalu mengapa kau sendiri tidak mau menjadi seorang pendidik? Aku tahu kau mampu untuk itu. Bahkan lebih dari mampu, bila kau mau ” Dia terd Read the rest of this entry